Senin, 21 Maret 2016

BAHASA APA YANG DIGUNAKAN PADA ZAMAN PRA-AKSARA?

ada 2 pendapat yang kerap di dapatkan jika pertanyaan itu di lontarkan
  1. Pada zaman praaksara orang-orang belum mengenal tulisan,pada zaman itu bahasa yang digunakan adalah bahasa isyara.
  2. Bahasa Sanskerta dan huruf pallawa.

Bahasa Sansekerta

Bahasa Sanskerta (ejaan tidak baku: Sansekerta) adalah salah satu bahasa Indo-Eropa paling tua yang masih dikenal dan sejarahnya termasuk yang terpanjang. Bahasa yang bisa menandingi 'usia' bahasa ini dari rumpun bahasa Indo-Eropa hanya bahasa Het. Kata Sanskerta, dalam bahasa Sanskerta Saṃskṛtabhāsa artinya adalah bahasa yang sempurna. Maksudnya, lawan dari bahasa Prakerta, atau bahasa rakyat.
Bahasa Sanskerta merupakan sebuah bahasa klasik India, sebuah bahasa liturgis dalam agama Hindu, Buddhisme, dan Jainisme dan salah satu dari 23 bahasa resmi India. Bahasa ini juga memiliki status yang sama di Nepal.
Posisinya dalam kebudayaan Asia Selatan dan Asia Tenggara mirip dengan posisi bahasa Latin dan Yunani di Eropa. Bahasa Sanskerta berkembang menjadi banyak bahasa-bahasa modern di anakbenua India. Bahasa ini muncul dalam bentuk pra-klasik sebagai bahasa Weda. Yang terkandung dalam kitab Rgweda merupakan fase yang tertua dan paling arkhais. Teks ini ditarikhkan berasal dari kurang lebih 1700 SM dan bahasa Sanskerta Weda adalah bahasa Indo-Arya yang paling tua ditemui dan salah satu anggota rumpun bahasa Indo-Eropa yang tertua.
Khazanah sastra Sanskerta mencakup puisi yang memiliki sebuah tradisi yang kaya, drama dan juga teks-teks ilmiah, teknis, falsafi, dan agamis. Saat ini bahasa Sanskerta masih tetap dipakai secara luas sebagai sebuah bahasa seremonial pada upacara-upacara Hindu dalam bentuk stotra dan mantra. Bahasa Sanskerta yang diucapkan masih dipakai pada beberapa lembaga tradisional di India dan bahkan ada beberapa usaha untuk menghidupkan kembali bahasa Sanskerta.
Yang akan dibicarakan di artikel ini adalah bahasa Sanskerta Klasik seperti diulas pada tata bahasa Sanskerta karangan Panini, pada sekitar tahun 500 SM.

Aksara Pallawa

AKSARA Dan Bagian2nya

Raja dan Kerajaan Hindu Serta Peninggalannya

1. Kerajaan Kutai
   - Raja Kudungga (Raja Pertama)
   - Raja Mulawarman (Raja yang Terkernal)
peninggalannya adalah Yupa = prasasti yang di pahat pada tiang batu untuk menceritakan peristiwa di Kerajaan Kutai.
peninggalan Kerajaan Kutai adalah tujuh yupa prasasti atau tiang batu bertulis.Prasasti itu di tulis dengan hurf pallawa dan dalam bahasa sanskerta.

2. Kerajaan Tarumanegaraera
  - Raja Purnawarman
Peninggalan kerajaan Tarumanegara adalah tujuh prasasti yang ditemukan di  jawa barat.sebagian besar prasasti itu ditulis dalam bahasa sanskerta dan menggunakan huruf pallawa. prasasti peninghgalan kerajaan tarumanegara antara lain prasasti ciaruteun,prasasti kebon kopi,prasasti tugu,prasasti lebak (cidanghiang),prasasti jambu (pasir koleangkak),prasasti pasir awi,dan prasasti Muara Cianten.

3. Kerajaan Mataram Kuno
  - Raja Sanna
Peninggalan sejarah Kerajaan Mataram sangat banyak. Di antaranya berupa Candi Gedong Songo, kompleks Dieng, dan komplek Candi Prambanan.

4.Kerajaan Kediri
  - Raja Airlangga
  - Raja Bameswara /Kameswara I (tahun 1115–1130 M)
  - Raja Jayabaya (1130–1160 M)
  - Raja Sarweswara (1160–1170 M)
  - Raja Aryyeswara
  - Raja Gandra
  - Raja Srungga
  - Raja Kertajaya (1200–1222 M)
Peninggalan berupa prasasti di antaranya sebagai berikut.
• Prasasti Penumbangan (1120)
• Prasasti Hantang (1135)
• Prasasti Talan (1136)
• Prasasti Jepun (1144)
• Prasasti Weleri (1169)                     
• Prasasti Angin (1161)
• Prasasti Padlegan (1170)                
• Prasasti Jaring (1181)
• Prasasti Semandhing (1182)           
• Prasasti Ceker (1185)
Peninggalan dalam bidang kesusastraan di antaranya sebagai berikut.
• Kakawin Arjuna Wiwaha oleh Mpu Kanwa
• Kresnayana oleh Mpu Triguna
• Samanasantaka oleh Mpu Managuna
• Smaradahana oleh Mpu Darmaja
• Hariwangsa oleh Mpu Panuluh
• Gathotkaca Sraya oleh Mpu Panuluh
• Bharatayuda oleh Mpu Panuluh dan Mpu Sedah
• Wrestasancaya dan kidung Lubdhaka oleh Mpu Tanakung.

Minggu, 06 Maret 2016

Mengungkap Fakta Bentuk Istana Luwu

Jilid II

Oleh: Zulfikar Baso Amir

Sawerigading. adalah nama seorang putera raja Luwu, dari Kerajaan Luwu Purba. Nama ini dikenal melalui cerita dan kisah dari sastra La Galigo. Nama Sawerigading ini dikenal sebagai seorang laki-laki perkasa, yang kekuatannya luar biasa. Sawerigading melalui epik La Galigo dikisahkan dua bersaudara kembar yakni Sawerigading dan We Tenriabeng. Kedua bersaudara kembar ini adalah anak dari raja Luwu Batara Lattu. Sawerigading dan We Teriabeng masa kecilnya dibesar diberbeda tempat, setelah dewasa baru mereka bertemu dan jatuh cinta pada adik kandungnya, tetapi hukum tidak membolehkan menyunting saudaranya. Gusar dan kesedihan hati Sawerigading, menyebabkan ia memutuskan meniggalkan tanah Luwu dan bersumpah tidak akan kembali selama hidupnya. Ia pergi berlayar, mengembara berkeliling dikepulauan Bahari sampai ke Negeri Tingkok.


 

Isi hikayat La Galigo



Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge’ langi’ kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’, sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.

Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga (JawaTimur dan Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur danSunda Barat) dan Melaka.
Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I LaGaligo, juga seperti

ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu’.

Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Kerajaan selalu berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan Silaturahmi antar kerajaan melalui laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai karakter mereka.


 

La Galigo di Sulawesi Tengah



Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawasan ini mungkin pernah bagian kerajaan purba Luwu’.
Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi’ Buri’ (Tasik Buri).

Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu’. Sesampainya tentara Luwu’, kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.

Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.



La Galigo di Sulawesi Tenggara



Ratu Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading.
Satu lagi kisah yang berbeda yaitu keturunan Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.

Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).


 

La Galigo di Gorontalo



Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu’ melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.

Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Luwu’. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.


 

La Galigo di Malaysia dan Riau



Keturunan Luwu (wija to luwu) memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang. Keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Menambun (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella’ (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Tak mengherankan jika Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Kesultanan Melayu di Semenjung Malaysia (melaka).


Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh ‘Keraing Semerluki’ dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo’, dimana nama sebenarnya ialah Sumange’rukka’ dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.

Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo’. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta’ Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko’ dari Peneki, sebuah daerah di Wajo’, menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma’dukelleng, juga ke Johor. La Ma’dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.


Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke’, menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Pajung Ri Luwu’. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge’ kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.

Istana Luwu Kuno, Versi I La Galigo

Istana raja Gowa (1870-1892)

https://www.flickr.com/photos/125605764@N04/21874970346/

Palace of the Sultan of Bone, c. 1900-1920